Menag: Koruptor Nerakanya Lebih Jahanam Dibanding Pencurian Biasa

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, carpet-cleaning-kingston.co.uk --

Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan pelaku korupsi alias koruptor 'nerakanya lebih jahanam' daripada pelaku pencurian biasa.

Hal itu disampaikan Nasaruddin dalam agenda 'Membangun Integritas Bangsa Melalui Peran Serta Masyarakat Keagamaan' di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan, Rabu (12/3).

Mulanya, Nasaruddin mengungkap pentingnya untuk mempropagandakan 'korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan' di rumah-rumah ibadah.

"Mungkin perlu digaungkan kembali melalui bahasa agama, kepercayaan apa pun, rumah ibadah apa pun, rumah ibadah nan sering kita kunjungi, kita pasang spanduk di situ, gimana mendramatisasi bahwa orang nan korupsi itu melakukan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan nan sangat besar," kata Nasaruddin.

Nasaruddin yang juga Imam besar Masjid Istiqlal ini memberi contoh pencurian sepeda motor nan hanya merugikan si pemilik kendaraan dengan pencurian alias korupsi mengenai pajak nan berangkaian dengan rencana hidup orang banyak.

"Tobatnya orang itu kan, jika kata Imam Ghazali, salah satu persyaratan tobat kembalikan barang-barang orang nan pernah diambil. Kalau 280 juta umat Indonesia ini pembayar pajak, apa kita mungkin kembalikan satu per satu duit rakyat? itu kan enggak mungkin," ucap Nasaruddin.

"Jadi, hasilnya apa? Nerakanya lebih jahanam daripada pencurian biasa," sambungnya.

Hukuman mati

Dalam pemaparannya, Nasaruddin Umar turut menyinggung perihal balasan meninggal bagi koruptor.

Pandangan itu melengkapi apa nan telah disampaikan Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto, nan menjelaskan balasan meninggal bagi koruptor sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Pidana meninggal dapat diterapkan dalam keadaan tertentu ialah dilakukan pada waktu negara dalam keadaan ancaman sesuai dengan undang-undang nan berlaku, pada waktu terjadi musibah alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, alias pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Namun, balasan tersebut belum pernah diterapkan.

Sementara itu, Nasaruddin menjelaskan dalam norma islam ada norma 'Apa nan tidak bisa kita lakukan semaksimal mungkin, jangan meninggalkan semuanya'.

Menurut Nasaruddin, apa nan telah dilakukan KPK sejauh ini bukan berfaedah tidak melakukan sesuatu nan sangat signifikan.

"Apa sih nan dimaksud balasan mati? Dalam bahasa Arab, meninggal itu bisa berfaedah melenyapkan nyawa. Tapi, meninggal itu juga bisa berfaedah mematikan nilai dirinya, mematikan kesempatan kerjanya, mematikan antusiasme hidupnya, mematikan status sosialnya, mematikan martabatnya, mematikan semuanya," ungkap Nasaruddin.

"Jadi, orang nan sudah menjalani balasan nan telah ditetapkan KPK itu dengan segala macam penayangan itu, jangan-jangan itu lebih sadis daripada kematian," imbuhnya.

Ia menjelaskan meninggal dalam perihal ini bisa berarti luas. Bisa saja, balasan nan dijalani koruptor hingga sekarang lebih berat dibandingkan meninggal lantaran hilangnya nyawa.

"Karena orang jika meninggal sudah selesai enggak ada rasa malu lagi. Tapi, jika ini ditayangkan acapkali lagi kan, jangan-jangan jika disuruh orang milih, mana nan disuruh pilih, ditayangkan seperti itu alias ditembak. Jangan-jangan lebih banyak orang lebih memilih ditembak," ucap Nasaruddin.

"Jadi, meninggal di sini bisa berfaedah mematikan nilai diri, mematikan kariernya, mematikan kesempatan kerja, mematikan kewenangan politiknya. Jadi, meninggal di situ sudah bertindak norma meninggal di situ," sambung laki-laki nan pernah menjadi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag itu tersebut.

(kid/ryn)

[Gambas:Video CNN]