ARTICLE AD BOX
Jakarta, carpet-cleaning-kingston.co.uk --
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan putusan uji formil Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) nan dibacakan hari ini, Rabu (17/9), menjadi ujian sesungguhnya bagi Mahkamah Konstitusi (MK).
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, PBHI Nasional, YLBHI, KontraS, Centra Initiative, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, LBH Jakarta.
Kemudian LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Trend Asia, ICJR, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), De Jure, serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
"Putusan ini tidak dapat dipandang sebagai agenda dalam perkara norma biasa. Ia adalah ujian sesungguhnya atas integritas dan komitmen MK untuk menegakkan konstitusi, mendukung agenda reformasi sektor keamanan, dan melindungi kerakyatan dari ancaman militerisme nan kian menguat," ujar Tim Advokasi dalam keterangan tertulis, Selasa (16/9).
Tim Advokasi memandang proses pembentukan Revisi UU TNI mengandung banyak persoalan mendasar. Proses legislasi dilakukan secara tertutup, terburu-buru, dan jauh dari prinsip partisipasi publik nan berarti (meaningful participation).
Tim Advokasi bilang tidak ada akses terbuka terhadap naskah akademik maupun draf Rancangan Undang-undang selama proses berjalan. Rapat-rapat krusial dilakukan secara diam-diam, apalagi diselenggarakan di luar hari kerja tanpa siaran langsung, seolah disengaja agar luput dari pengawasan publik.
"Pembahasan UU TNI di DPR juga melanggar norma kaidah nan benar," imbuhnya.
Dalam persidangan, Tim Advokasi menyebut DPR dan Pemerintah menyatakan Revisi UU TNI merupakan tindak lanjut dari Putusan MK Nomor: 62/PUU-XIX/2021 sehingga perlu diproses secara sigap (fast track).
Namun, revisi tersebut rupanya tidak dimasukkan dalam Daftar RUU Kumulatif Terbuka sesuai Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/2024-2025, padahal setiap tindak lanjut putusan MK wajib dimasukkan dalam daftar ini sesuai Pasal 14 ayat (2) dan (3) Tata Tertib DPR.
"Dalam persidangan terlihat dengan jelas pula bahwa klaim DPR bahwa revisi ini merupakan carry over dari periode sebelumnya juga tidak didukung bukti nan jelas. Pembahasan di Badan Legislasi apalagi belum mencapai tahap DIM, sehingga syarat carry over belum terpenuhi," ungkap Tim Advokasi.
Dari segi substansi, Tim Advokasi menilai UU TNI juga mengandung banyak masalah.
Revisi nan diajukan tidak hanya mengatur soal usia pensiun seperti nan diperintahkan putusan MK terdahulu, melainkan juga memperluas perubahan meliputi kebijakan strategis pertahanan, Operasi Militer Selain Perang (OMSP), tugas tiga matra TNI, serta ekspansi ruang penempatan prajurit aktif di kedudukan sipil.
Perluasan itu dianggap tidak sesuai dengan mandat putusan MK sehingga tidak dapat dibenarkan menggunakan sistem legislasi cepat. Hal ini adalah corak nyata adanya agenda politik jelek untuk memundurkan reformasi sektor keamanan.
Kasus Ferry Irwandi
Dalam keterangannya, Tim Advokasi menyinggung kasus CEO Malaka Project Ferry Irwandi nan dilaporkan oleh Komandan Satuan Siber (Dansatsiber) Mabes TNI.
Tindakan tersebut menunjukkan ada penyalahgunaan wewenang, di mana Satsiber TNI nan semestinya berfokus pada pertahanan siber negara justru digunakan untuk memata-matai dan mengintimidasi penduduk negara nan menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
"Jika revisi UU TNI besok tidak dibatalkan oleh MK, maka cemas kriminalisasi dan aktivitas memata-matai penduduk negara seperti pada kasus Ferry Irwandi bakal marak terjadi," ucap Tim Advokasi.
Selain itu, pelibatan militer dalam OMSP akhir-akhir ini juga cukup mengkhawatirkan, pasca kerusuhan pada akhir Agustus 2025 lalu. TNI dikabarkan mengerahkan 73.000 pasukannya untuk mengamankan wilayah Jakarta.
"Kasus Ferry Irwandi dan kasus pengerahan personil militer dalam jumlah signifikan di Jakarta menjadi bukti bahwa UU TNI nan baru berpotensi memberikan legitimasi kepada militer di ranah sipil dan siber," lanjut Tim Advokasi.
(fra/ryn/fra)
[Gambas:Video CNN]