ARTICLE AD BOX
Jakarta, carpet-cleaning-kingston.co.uk --
Temuan ratusan siswa SMP di Buleleng, Bali nan tak bisa membaca dengan lancar menjadi peringatan keras bahwa pendidikan Indonesia tidak baik-baik saja.
Dari 34.062 siswa di Buleleng, sebanyak 155 siswa dinyatakan termasuk dalam kategori tidak bisa membaca (TBM). Sementara 208 siswa siswa termasuk dalam kategori tidak lancar membaca (TLM).
Adapun kejadian ini ditengarai disebabkan oleh beragam aspek baik secara internal dan eksternal nan dialami oleh siswa.
Secara internal, kurangnya motivasi, pembelajaran tidak tuntas, disleksia, disabilitas, dan kurangnya support family diduga menyebabkan siswa tak lancar membaca.
Adapun aspek eksternal nan diduga membikin siswa tak lancar membaca adalah pengaruh jangka panjang pembelajaran jarak jauh (PJJ), kesenjangan literasi dari jenjang SD, pemahaman keliru tentang kurikulum, kekhawatiran tenaga pendidik terhadap ancaman norma dan stigma sosial, hingga aspek family nan menyebabkan psikologis siswa terganggu.
"Misalnya siswa mempunyai trauma di masa mini akibat kekerasan rumah tangga, perceraian, alias kehilangan personil keluarga. Atau korban perundungan," kata Plt Kepala Disdikpora Buleleng Putu Ariadi Pribadi.
Fenomena ini juga seakan-akan menunjukkan sistem pendidikan kita tak berkembang sejak Indonesia merdeka 80 tahun lalu.
Pendidikan kita tetap berkutat ihwal keahlian membaca sementara negara lain telah berkutat memanfaatkan mesin dan kepintaran buatan.
Program Pemberantasan Buta Huruf nan digulirkan Presiden pertama RI Sukarno pada medio 1948 juga tampaknya tetap relevan untuk kembali digulirkan.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan temuan siswa tak bisa membaca di Buleleng ini adalah kejadian gunung es.
Ubaid menyebut sebelumnya sudah banyak wilayah dengan siswa nan tidak lancar membaca nan ditemukan selain di Buleleng. Kondisi siswa tidak bisa membaca itu juga kerap ditemukan pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di beberapa daerah.
"Sayangnya ini tidak dianggap masalah serius, terkesan terjadi pembiaran, jadi sekarang fenomenanya tambah banyak merebak," kata Ubaid kepada CNNIndonesia.com Selasa (15/4) malam.
Ubaid menilai fenomena ini juga menunjukkan sistem pendidikan Indonesia telah kandas dalam memberikan jenjang dasar pendidikan ialah membaca.
Hal itu terlihat dengan maraknya fenomena kursus dan pengarahan membaca di luar sekolah nan ramai dan diminati oleh masyarakat.
"Lembaga-lembaga kursus ini, banyak sekali peminatnya. Mengapa ini bisa terjadi? Jelas lantaran sekolah kandas mengajari anak membaca," ujar dia.
"Kalau di sekolah anak diajari membaca dengan baik, maka anak cukup belajar di sekolah, tapi kenapa ini orang-orang tua berbondong-bondong mengursuskan anak-anaknya untuk bisa membaca di lembaga kursus. Ini ironi," sambungnya.
Ubaid menilai kejadian siswa SMP-SMA tak bisa membaca ini disebabkan oleh sejumlah aspek dan tidak bisa dilepaskan dengan gagalnya kebijakan pendidikan di Indonesia.
Salah satunya, kata dia, adalah kebijakan pendidikan di Indonesia nan tidak konsisten dengan selalu berganti tiap pergantian menteri.
"Ganti menteri, tukar kebijakan. Ini tradisi jelek nan kudu diputus, jangan diteruskan. Apalagi perubahannya tidak berasas pertimbangan dan kajian berbasis data," tutur dia.
Ia menilai kejadian ini juga disebabkan oleh tetap banyaknya masalah nan dialami para guru. Mulai dari masalah kesejahteraan hingga mutu guru.
"Berdampak pada rendahnya kompetensi guru, baik dari sisi profesionalisme-nya maupun keahlian pedagogi-nya," ujar dia.
Tak hanya itu, Ubaid menilai ragam persoalan nan tetap dialami pembimbing juga diperburuk dengan ekosistem pendidikan Indonesia nan bermasalah. Salah satu corak buruknya ekosistem pendidikan Indonesia adalah tidak adanya budaya membaca di sekolah.
"Guru-guru disibukkan dengan urusan administratif, lantaran itu minat baca pembimbing juga sangat rendah. Apalagi siswanya juga sangat parah. Belum lagi aspek keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan, ini sangat minim sekali untuk mengatakan apalagi tidak ada," tutur dia.
Menurut Ubaid, langkah komprehensif perlu diambil oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan darurat membaca ini. Langkah itu meliputi peningkatan kualitas guru, penyediaan pembiayaan sekolah, hingga perbaikan ekosistem pendidikan Indonesia.
"Kualitas gurunya kudu ditingkatkan, semua kudu di atas standar rata-rata nasional," ujar dia.
"Ketersediaan pembiayaan sekolah dan prasarana penunjang. Banyak anak enggak bisa sekolah lantaran sekolah tetap berbiaya mahal. Di Sekolah negeri banyak pungli, dan di sekolah swasta biayanya sangat mahal. Ini sangat memberatkan orang tua," imbuhnya.
Di sisi lain, Ubaid turut menyoroti upaya pemerintah nan mau memperbaiki kualitas pendidikan dengan memberikan makan bergizi cuma-cuma kepada anak-anak sekolah.
Ubaid menilai upaya perbaikan gizi anak-anak sekolah untuk perbaikan kualitas sumber daya manusia kudu dilakukan berasas info dan tidak asal-asalan.
"Jangan semua anak dari SD-SMA diberi makan semua. Banyak nan enggak butuh dan buang-buang makanan di sampah. Itu pemborosan anggaran. Daerah mana saja nan nomor ketercukupan gizinya rendah, itu nan kudu dipenuhi, jangan semua wilayah digebyah uyah," ujar dia.
Senada, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim mengakui persoalan siswa tak bisa membaca ini tidak terlepas dengan kondisi pendidikan Indonesia nan stagnan.
Ia menyinggung ketiadaan rencana jangka panjang pendidikan Indonesia nan dimiliki oleh pemerintah.
"Nah, jadi ini adalah akumulasi dari kita secara nasional waktu itu memang belum mempunyai peta jalan pendidikan. Bagaimana rencana besar alias grand design pendidikan kita itu 20-30 tahun ke depan gitu," ujar dia kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/4).
Di sisi lain, dia mengkritik upaya pemerintah memberikan makan bergizi cuma-cuma untuk memperbaiki pendidikan Indonesia nan tertinggal.
Ia menilai upaya perbaikan pendidikan Indonesia tidak bakal sukses tanpa pemerintah melakukan perbaikan esensial dalam sistem pendidikan saat ini.
"Ini kan persoalan nan sifatnya fundamental, tapi kebijakannya adalah makan bergizi gratis," ujar dia.
"Jadi dia beriringan. Anaknya dikasih makan, tapi kualitas pembelajarannya dibentuk, dibangun. Anaknya dikasih makan, tetapi sekolahnya dilengkapi sarananya," imbuhnya.
(isn/mab/isn)
[Gambas:Video CNN]