ARTICLE AD BOX
Jakarta, carpet-cleaning-kingston.co.uk --
Penelitian senior Imparsial, Al Araf mengkritik usul penghapusan Pasal 65 dalam naskah revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, nan mengatur soal sistem peradilan bagi seorang prajurit TNI.
Al Araf mengatakan pihaknya sekarang menolak revisi tersebut salah satunya lantaran menghapus pasal 65. Padahal, kata dia, pasal nan dihapus mestinya Pasal 74.
"Draf RUU TNI nan kita terima, nan dihapus pasal 65-nya. Bukan pasal 74. Karena itu kita tolak RUU TNI. Ini kebalik. nan dihapus pasal 65-nya. Salah, harusnya nan dihapus pasal 74-nya tentang peradilan," kata Al Araf dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) RUU TNI di Komisi I DPR, Selasa (4/3).
Pasal 65 nan dimaksud merujuk pada ayat 2, nan berbunyi, "Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam perihal pelanggaran norma pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam perihal pelanggaran norma pidana umum nan diatur dengan undang-undang".
Sedangkan, Pasal 74 berbunyi, "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 bertindak pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer nan baru diberlakukan".
Menurut Al Araf, dengan menghapus pasal 65 dalam naskah RUU TNI, maka kesempatan untuk menarik kasus pidana prajurit ke peradilan umum semakin tertutup.
Sebaliknya, kasus pelanggaran pidana prajurit mudah dibawa ke peradilan pidana umum, jika nan dihapus adalah Pasal 74.
Al Araf mencontohkan kasus penembakan nan menewaskan seorang bos persewaan di Tangerang. Mestinya, kasus itu menurut dia, bisa dibawa ke peradilan umum jika RUU TNI menghapus Pasal 74.
"Kalau pasal 74 dihapus, maka secara mutandis pasal 65 berlaku. Maka seperti kasus kejadian bos persewaan di Tangerang bisa masuk dalam peradilan umum. Pakai apa? Pasal 65. Nggak perlu lagi pakai UU Peradilan Militer," katanya.
PDIP sindir perwira jadi dirjen
Di tempat nan sama, personil Komisi I DPR dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin mengaku tak cemas revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bakal mengembalikan Orde Baru.
Hasan, sapaan akrabnya, memastikan selama Pasal 39 dalam RUU tersebut tak diubah, tak perlu ada nan dirisaukan. Pasal tersebut melarang prajurit aktif menduduki posisi sipil.
"Tidak mungkin bakal kembali ke Orde Baru. Dengan catatan, kita kudu pertahankan pasal 39 UU Tni nan mana disebutkan TNI tidak boleh berpolitik praktis," kata Hasan
Jenderal purnawirawan bintang dua TNI itu mengaku justru lebih mengkhawatirkan penempatan TNI di banyak lembaga sipil, termasuk menjadi dirjen. Menurut dia, menempatkan perwira TNI di posisi sipil hanya menghilangkan sumber daya terbaik.
Sebab, mereka sejak awal dipersiapkan untuk bertempur. Hasan menilai penempatan prajurit dan perwira di posisi sipil tidak pantas.
"Padahal tugas pokok kami adalah untuk bertempur suatu saat. Nah jika jenderal-jenderal terbaik itu ada di dirjen-dirjen lain ya kurang pas menurut irit saya," katanya.
Hasan berpandangan, menempatkan perwira TNI di lembaga sipil juga menimbulkan kecemburuan pada ASN. Sebab, karir mereka nan telah dibangun sejak awal bisa pupus lantaran berhadapan dengan seorang jenderal.
"Dari nan tadinya hanya ahli ketik, naik jadi kasubag, kabag, direktur, begitu mau jadi dirjen, datang mayjen. Betapa sakitnya ya," kata Hasan.
Sementara itu, Anggota Komisi I dari Fraksi Golkar, Nurul Arifin mengkritik pemaparan dua master nan diundang di RDPU revisi UU TNI.
Direktur Riset Setara Institut, Ismail Hasani dan peneliti senior Imparsial, Al Araf dinilai tak berimbang memberi masukan RUU TNI. Pasalnya, kata Nurul, keduanya tak ikut menyampaikan masukan soal sejumlah pasal kontroversial dalam RUU Polri.
"Tolong saya mau Bapak-bapak bersikap equal dalam perihal ini. Karena Bapak-bapak juga didengar suaranya. Diundang ke sana-sini, tapi kenapa ketika berbincang tentang UU TNI sikapnya sangat apriori," kata Nurul dalam rapat.
Padahal, menurut Nurul, sejumlah pasal dalam RUU Polri, tak kalah kontroversial dibanding RUU TNI. Namun, menurut Nurul, kedua master nan diundang sama sekali tak menyinggung poin-poin krusial soal RUU polri.
Meski pada kesempatan itu, rapat hanya membahas RUU TNI. Sedangkan RUU Polri hingga saat ini belum resmi dibahas di Komisi III DPR.
Sementara, Direktur Riset Setara, Ismail Hasani membantah tudingan tersebut. Dia bilang pihaknya persis menyoroti tiga pasal dalam revisi UU TNI. Hasan, mengatakan pihaknya hanya mewanti-wanti agar kekuasaan Presiden tetap dibatasi.
Menurut dia, meski semua punya niat nan baik untuk tujuan nasional, namun, pada faktanya kekuasaan tetap kudu dibatasi dan diingatkan.
"Ya kita percaya presiden perjuangkan agenda politik dan tujuan nasional kita. Tapi, sejarah membuktikan ketidakpercayaan itu kudu terus terus dipupuk sehingga perlu batas kekuasaan," kata Hasan.
"Maka muncul lah doktrin konstitusionalisme nan pada pokoknya kekuasaan kudu dibatasi. Dan kita sudah membatasi dengan konstitusi itu," imbuhnya.
(dal/thr)
[Gambas:Video CNN]