Mengembalikan Kejayaan Industri Teh Nasional
Teh diperkenalkan di Indonesia pada abad ke-19 oleh kolonial Belanda sebagai komoditas ekonomi. Pada awalnya, konsumsi teh terbatas di kalangan bangsawan dan kerajaan, tetapi tradisi ini kemudian menyebar ke masyarakat luas, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Ragam tradisi teh pun berkembang di berbagai daerah, mencerminkan keragaman budaya Indonesia. Sebagai contoh, “teh poci” dari Tegal menggunakan teh melati yang diseduh dalam poci tanah liat dan disajikan dengan gula batu, menciptakan cita rasa khas.
Tradisi “patehan” di Keraton Yogyakarta memperlihatkan penyajian teh dengan tata cara istimewa untuk Sultan dan tamu istana, menegaskan status teh sebagai simbol kehormatan. Di Betawi, tradisi “nyahi” menyajikan teh tubruk dengan gula kelapa, memberikan pengalaman rasa yang unik. Tradisi-tradisi ini menunjukkan bahwa teh memiliki makna lebih dari sekadar minuman; ia adalah bagian integral dari identitas sosial dan budaya Indonesia. Potensi budaya ini dapat menjadi aset berharga untuk memperkuat posisi industri teh nasional, terutama dalam mempopulerkan dan memasarkan produk teh Indonesia di pasar global. Dengan meningkatnya minat terhadap tradisi unik, pendekatan berbasis budaya dapat menjadi strategi pemasaran yang efektif.
Meskipun teh merupakan bagian integral dari budaya Indonesia, industri teh nasional saat ini menghadapi tantangan signifikan. Dalam publikasi Statistik Teh Indonesia 2023, Badan Pusat Statistik (BPS), produksi teh menurun dari 165.000 ton pada 2002 menjadi 122.700 ton pada 2023. Sebagian besar produksi, yakni 67 persen, berasal dari Jawa Barat, diikuti Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan beberapa daerah lain seperti Bengkulu dan Sumatera Barat.
Jawa Barat tetap menjadi daerah penghasil teh utama dengan luas perkebunan mencapai sekitar 85.000 hektare, menyumbang mayoritas dari total luas lahan perkebunan teh nasional yang tersisa, yaitu 110.000 hektare pada 2023. Penurunan produksi ini sejalan dengan penyusutan luas lahan perkebunan teh akibat alih fungsi lahan untuk komoditas lain seperti hortikultura dan tanaman perkebunan yang dianggap lebih menguntungkan. Perubahan ini berdampak pada kemampuan Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar domestik dan internasional. Produktivitas teh Indonesia juga masih rendah, rata-rata hanya 1.800 kg per hektare, jauh tertinggal dibandingkan negara produsen utama seperti Iran yang mencapai 5.900 kg per hektare.
Rendahnya produktivitas ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk inovasi teknologi dalam pengelolaan perkebunan dan proses produksi guna meningkatkan efisiensi. Di sisi lain, konsumsi domestik teh menunjukkan tren peningkatan. Menurut data BPS (Susenas 2023), rata-rata konsumsi teh celup nasional mencapai 1,26 kantong per kapita per minggu. Meski demikian, Indonesia berada di urutan ke-22 dalam konsumsi teh per kapita global, dengan rata-rata konsumsi per kapita hanya 0,38 kg per tahun.
Popularitas produk teh siap minum (RTD tea) menjadi pendorong utama pertumbuhan konsumsi domestik, membuka peluang besar untuk mengembangkan pasar teh lokal meskipun produksi terus menurun. Dengan inovasi dalam teknologi, strategi pemasaran yang efektif, dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan, industri teh Indonesia memiliki potensi untuk kembali berjaya di pasar domestik maupun internasional.