Aturan Kemasan Rokok Polos Bikin Petani Tembakau Resah
Pemerintah lewat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana untuk menerapkan aturan baru yang mengharuskan kemasan rokok tanpa identitas merek, alias kemasan polos. Kebijakan ini bikin petani tembakau khawatir.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Bondowoso, Mohammad Yasid, bilang kalau petani tembakau di daerahnya sangat bergantung pada industri ini. Menurutnya, kebijakan yang terlalu ketat dari Kemenkes bisa mengancam nasib sekitar 5.000 petani tembakau di Bondowoso.
“Di 23 kecamatan, ada sekitar 10.000 hektare lahan tembakau dengan 5.000 petani. Artinya, kami sangat bergantung pada tembakau, dan saya yakin di daerah lain juga sama,” kata Yasid di Jakarta, Jumat (22/11/2024).
Yasid juga menyebutkan kalau penghasilan dari tanaman tembakau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya. Dengan biaya produksi sekitar Rp35 juta per hektare, para petani bisa mendapatkan hasil hingga Rp90 juta per hektare dalam waktu 4 bulan.
Karena itu, Yasid meminta pemerintah untuk merevisi PP 28/2024 dan membatalkan rencana Permenkes yang mengharuskan kemasan rokok polos. Pasalnya, kebijakan ini bisa berdampak besar pada penyerapan hasil tembakau dan nasib petani.
“Kebijakan ini kayak hantaman buat petani. Kami bisa bertahan waktu pandemi, tapi sekarang pemerintah malah yang mengancam kami,” jelasnya.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR, Nurhadi, mengkritik keras Kemenkes yang terkesan keras kepala dengan aturan ini. Menurutnya, Kemenkes terlalu fokus pada isu kesehatan tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi yang akan ditimbulkan.
“Kalau Kemenkes tetap ngotot (mengeluarkan Rancangan Permenkes) demi kesehatan tanpa lihat dampak ekonominya, itu bukan keputusan yang bijak,” kata Nurhadi.
Nurhadi juga menyoroti bahwa sebelumnya Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, sudah menyatakan penundaan Rancangan Permenkes ini, tapi masih terus jadi polemik. “Apakah Kemenkes nggak satu suara dengan menterinya? Ini perlu klarifikasi,” tegasnya.
Dia juga menambahkan kalau kebijakan ini bisa merugikan ekonomi, terutama dengan kemungkinan hilangnya pendapatan negara dari pajak dan cukai rokok. Hal ini bisa ganggu target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai 8%.
“Kami di Komisi IX DPR bakal terus mengawal Rancangan Permenkes ini. Jangan sampai kebijakan ini diterbitkan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat luas,” tambah Nurhadi.