Dolar As Catatkan Kinerja Terburuk Sejak Krisis 1973, Ada Apa?

Sedang Trending 6 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, carpet-cleaning-kingston.co.uk - Dolar Amerika Serikat mencatat pergerakan awal tahun terburuk sejak 1973, tertekan oleh kebijakan ekonomi dan perdagangan Presiden Donald Trump. Sepanjang enam bulan pertama 2025, indeks dolar ambruk 10,8%, menjadi penurunan semester terbesar sejak runtuhnya sistem Bretton Woods.

Diketahui, indeks dolar menggambarkan pergerakan mata duit tersebut terhadap enam mata duit utama lain, termasuk poundsterling, euro, dan yen. Pelemahan ini mencerminkan kegelisahan penanammodal terhadap prospek ekonomi AS di tengah kebijakan nan dinilai tidak konsisten.

"Dolar menjadi kambing hitam dari kebijakan Trump 2.0 nan serba tidak pasti," kata Francesco Pesole, analis kurs asing dari ING, dikutip dari Financial Times, Selasa, (1/7/2025).

Ia menyebut perang tarif nan tidak menentu, utang jumbo AS, serta kekhawatiran atas independensi The Fed sebagai penyebab menurunnya daya tarik dolar sebagai aset aman.

Pada perdagangan Senin, dolar kembali turun 0,6% menjelang pemungutan bunyi di Senat AS mengenai amandemen terhadap RUU pajak Trump. Undang-undang nan disebut sebagai "big, beautiful tax bill" itu diperkirakan bakal menambah utang AS sebesar US$3,2 triliun dalam sepuluh tahun ke depan.

Kekhawatiran pasar terhadap keberlanjutan fiskal AS memicu tindakan jual besar-besaran di pasar obligasi negara tersebut. Hasilnya, permintaan terhadap dolar ikut terguncang di tengah eksodus dari aset-aset safe haven AS.

Kondisi ini berkebalikan dari prediksi awal tahun nan memperkirakan perang jual beli Trump justru bakal memperkuat dolar. Alih-alih menguat, dolar justru melemah drastis, sementara euro menguat 13% hingga menembus level US$1,17.

Beberapa bank Wall Street apalagi sebelumnya memprediksi euro bakal jatuh ke level paritas terhadap dolar. Namun justru kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi AS mendorong penanammodal beranjak ke aset lain seperti obligasi Jerman.

Andrew Balls, Chief Investment Officer di Pimco, menyebut pengumuman Trump soal "reciprocal tariffs" pada April sebagai titik kembali kebijakan ekonomi AS. Meski dia menilai tak ada ancaman nyata terhadap status dolar sebagai mata duit persediaan global, Balls mengakui tren pelemahan tetap bisa terjadi.

Menurutnya, penanammodal dunia sekarang semakin aktif melakukan lindung nilai terhadap eksposur dolar. Aktivitas ini justru menambah tekanan terhadap nilai tukar greenback.

Ekspektasi bahwa The Fed bakal memangkas suku kembang secara garang juga menjadi beban tambahan bagi dolar. Pasar sekarang memperkirakan setidaknya lima kali pemangkasan suku kembang sebesar 25 pedoman poin hingga akhir tahun depan.

Meskipun pelemahan dolar mendukung reli saham AS nan mencapai rekor tertinggi, indeks S&P 500 tetap tertinggal jauh dari bursa Eropa jika diukur dalam satuan mata duit nan sama. Investor institusi, termasuk biaya pensiun dan bank sentral, juga mulai mengurangi kepemilikan terhadap aset berdenominasi dolar.

"Investor asing sekarang menuntut lindung nilai lebih besar atas aset dolar mereka, dan itu turut menghalang dolar untuk ikut rebound berbareng saham AS," kata Pesole.

Di saat bersamaan, nilai emas melonjak ke rekor baru akibat pembelian besar-besaran dari bank sentral dan penanammodal nan cemas terhadap akibat depresiasi dolar.

Saat ini, dolar berada di titik terlemah terhadap mata duit saingannya dalam lebih dari tiga tahun terakhir. Namun lantaran posisi jual terhadap dolar sudah terlalu ramai, sebagian analis memperkirakan laju penurunan bakal segera melambat.

"Pelemahan dolar sudah jadi tren nan terlalu padat, dan saya menduga kecepatannya bakal melambat," ujar Guy Miller, kepala strategi pasar di Zurich Insurance Group.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Tak Banyak Sentimen, Dolar AS Ditutup Stagnan Rp16.820