ARTICLE AD BOX
Jakarta, carpet-cleaning-kingston.co.uk --
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak pembenahan menyeluruh terhadap tata kelola internal Mahkamah Agung (MA) setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) membongkar kasus dugaan suap dan alias gratifikasi pengurusan perkara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Kasus itu menambah daftar aparatur pengadilan terlibat tindak pidana.
"Perlu ada pembenahan menyeluruh terhadap tata kelola internal MA. Penetapan tersangka suap menunjukkan ancaman mafia peradilan. Praktik jual-beli vonis untuk merekayasa putusan berada pada kondisi kronis," ujar Peneliti ICW Egi Primayogha dalam siaran persnya, Rabu (16/4).
Berdasarkan pemantauan ICW sejak tahun 2011 hingga tahun 2024, terdapat 29 pengadil nan ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Mereka diduga menerima suap untuk mengatur hasil putusan. Nilai suap mencapai Rp107.999.281.345.
Egi meminta MA untuk memandang mafia peradilan sebagai masalah laten nan kudu segera diberantas. MA diminta kudu memetakan potensi korupsi di lembaga pengadilan dengan menggandeng Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan komponen masyarakat sipil.
"Mekanisme pengawasan terhadap keahlian pengadil dan syarat penerimaan pengadil juga perlu diperketat. Ini dilakukan untuk menutup ruang potensi korupsi," ucap dia.
Menurut dia, kasus nan baru saja terbongkar menggambarkan cengkeraman oligarki dalam proses penegakan hukum. Industri kelapa sawit di Indonesia dikuasai oleh segelintir orang dan berbentuk oligopoli, mencakup kelapa sawit mentah hingga minyak goreng.
Beberapa di antaranya adalah Musim Mas Group, Wilmar Group, serta Permata Hijau Group nan tersandung kasus dugaan korupsi pemberian akomodasi ekspor minyak sawit mentah.
"Oligarki memanfaatkan tata kelola industri sawit nan jelek dengan melakukan perburuan rente (rent-seeking). Praktik itu dilakukan untuk mendapatkan kebijakan-kebijakan alias legislasi nan menguntungkan industri mereka, contohnya mereka dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah mengenai ekspor CPO," ucap Egi.
Korporasi besar itu juga disebut mudah mendapatkan impunitas dari jeratan norma melalui pemberian suap kepada pengadil di perkara korupsi nan tengah dihadapi.
Egi menilai peristiwa tersebut merupakan akibat logis dari pembiaran pemerintah terhadap oligarki kelapa sawit nan kerap dimanjakan melalui beragam insentif pajak, subsidi, maupun kemudahan perizinan.
"Pemerintah perlu melakukan perbaikan tata kelola industri sawit dari hulu hingga hilir. Ini dapat dimulai dengan moratorium pemberian izin dan ekspansi perkebunan kelapa sawit guna memberantas korupsi sawit," ujarnya.
Egi memandang perlu ada instrumen norma nan lebih kuat untuk menjerat korporasi dalam kasus korupsi. Wana menuturkan temuan ICW menunjukkan perseorangan berlatar belakang swasta berada pada posisi teratas pelaku korupsi.
Hasil pemantauan tren vonis ICW tahun 2023 menunjukkan 252 pengusaha alias swasta menjalani persidangan kasus korupsi.
Selain itu, dari total 898 terdakwa, pengadilan negeri mendakwa tiga korporasi. Di tingkat pengadilan tinggi, ada 6 korporasi nan disidangkan.
Menurut Egi, pemberantasan korupsi di Indonesia susah untuk menjerat korporasi selaku subjek hukum. Penegak norma ragu untuk menggunakan pendekatan vicarious liability untuk menagih pertanggungjawaban pidana korporasi.
"Padahal, pendekatan ini disediakan oleh Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Egi.
Interpretasi teknis dari tata langkah pemidanaan korporasi baru disediakan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Pada kasus-kasus korupsi, Perma tersebut tetap sangat jarang digunakan penegak hukum.
"Di sisi lain, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana belum mencantumkan ketentuan nan progresif dan komprehensif untuk pemidanaan korporasi," ujarnya.
Dalam kasus dugaan suap dan alias gratifikasi di kembali putusan lepas (ontslag van alle recht vervolging) tiga terdakwa korupsi pemberian akomodasi ekspor CPO, sebanyak empat hakim, satu panitera, dua pengacara dan satu pihak swasta ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka adalah majelis pengadil Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat nan mengadili perkara tiga korporasi (PT Permata Hijau Group, PT Wilmar Group dan PT Musim Mas Group) ialah Djuyamto, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom.
Kemudian mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta; Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan; serta pengacara korporasi ekspor CPO ialah Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri juga diproses hukum.
Terbaru, JAMPIDSUS Kejaksaan Agung resmi menahan Head of Social Security and License Wilmar Group Muhammad Syafei.
(fra/ryn/fra)
[Gambas:Video CNN]